Oleh
Ibrahim Wahid Universitas Sriwijaya
Tanggal 20 Mei 2014 adalah Hari Kebangkitan Nasional ke-106 untuk
Indonesia. Hal yang sangat luar biasa bagi negara ini untuk memperingatinya.
Tapi, jika dilihat dari angka ke-106 yang lumayan ini, dewasanya bangsa Indonesia seharusnya
tidak seperti sekarang. Hampir segala bidang Indonesia bisa dikatakan tidak ada
bangkit-bangkitnya, walaupun ada itu tidak bisa dirasakan oleh seluruh lapisan
masyarakat Indonesia.
Momen 20 Mei ini dapat dijadikan tolak ukur untuk melihat bagaimana
perkembangan Indonesia dalam bidang pangan, ekonomi, lingkungan dan politik.
Keempat bidang ini sangat mempengaruhi tindak tanduk negara ini. Kita mungkin
dapat melihat dalam bidang ekonomi di Negara kita.
Dari waktu ke waktu terlihat bahwa Indonesia di bidang ekonomi makin tergantung
pada negara-negara Barat (Jepang, Amerika Serikat, dan sejumlah negara Uni
Eropa). Setiap tahun Indonesia harus mendapatkan hutang dari negara-negara yang
tergabung dalam Inter Govermental Group on Indonesia (IGGI) yang kemudian
berubah menjadi Cosultative Group on Indonesia (OGI). Walaupun kemudian
Indonesia telah membubarkan IGGI dan CGI, namun tetap melanjutkan kebiasaan
berutangnya lewat jalur bilateral dan multilateral.
Jumlah hutang luar negeri
yang sangat besar menjadikan Indonesia sukar membenahi dan mengembangkan
ekonomi dalam negerinya, karena Indonesia harus melakukan ekspor sumberdaya
alamnya (batubara, minyak & gas bumi, kayu dan lain-lain) untuk mendapatkan
devisa guna membayar hutang, sementara pasar ekspor tersebut sebagian besar ada
di negara-negara pemberi hutang.
Hal seperti itu menunjukkan
Indonesia sudah tidak lagi mandiri dan menyebabkan bangsa Indonesia terjajah
oleh sebagian bangsanya sendiri melalui negara yang bekerjasama secara tidak
adil dengan kekuatan asing. Indonesia terjerumus menjadi negara hamba. Agar
Indonesia tidak menjadi ”negara hamba”, maka Indonesia harus mampu meniadakan
ketergantungan akan ”hutang yang sangat besar” serta ”ekspor dan impor hanya
dengan negara-negara tertentu”.
Banyak sekali wacana
gagasan dan realisasi kemandirian ekonomi nasional yang jauh panggang dari api.
Bagaimana tidak, gagasan untuk menjadikan ekonomi nasional secara mandiri
terhalang tembok tebal penguasa. Baik penguasa internal (dalam negeri) maupun
penguasa eksternal (neoliberalisme).
Dengan hal seperti itu
,ketika negara dikepung globalisasi ekonomi rakyat dibiarkan sendiri bergelut dengan pasar tanpa intervensi dari
negara. Isu-isu yang berkembang tentang pencabutan subsidi BBM (Bahan Bakar
Minyak) membuktikan bahwa Indonesia tidak berdaya menghadapi pasar
internasional.
Mungkin kita harus mengingat statement mantan bandit ekonomi (economic
hit-man), John Perkins. Ia pernah mengatakan, Multinational Corporation (MNC)
melalui IMF dan World Bank selalu membungkus tindakannya dengan kalimat-kalimat
yang mulia. Kalimat itu menjadi mantera yang ampuh seperti, memajukan
peradaban, menyebarkan demokrasi, merangsang pertumbuhan ekonomi, menerangi
jalan kemajuan. Tetapi, tidak diragukan lagi mereka adalah penjajah yang
berniat menjarah. Mereka layak disebut “diktator finansial”.
Seperti ditulis J.S Furnivall dalam buku Hindia-Belanda: Studi tentang
Ekonomi Majemuk (2009), ”sebaik-baiknya kebijaksanaan ekonomi dan politik
kolonial, langkah-langkah itu tidak pernah memenuhi aspirasi rakyat.”
Dalam momentum Hari
Kebangkitan Nasional, penulis memandang aspek ekonomi sangat penting dalam
mempengaruhi negara ini. Faktor ekonomi mungkin dapat dikatakan sebagai fondasi
dalam kesejahteraan rakyatnya dan kemandirian bangsanya. Jika ini berhasil
dibangun ekonomi nasional sulit diintervensi oleh bangsa luar.
Apa yang terjadi dengan
negara ini tergantung dengan pemimpin yang dimiliki negara itu sendiri.
Pemimpin yang lemah lembut ditambah Indonesia masih negara berkembang sangat
mudah dijadikan sebagai negara pelayan kapitalisme internasional. Hal ini
menjadi cerminan negara yang pemimpinnya masih mengalami penjajahan mental.
Selama kolonisasi penjajahan mental itu tetap bertahan kuat dibenak pemimpin
bangsa ini, maka selama itu pula sulit diharapkan bangsa Indonesia bisa
betul-betul memelihara kemerdekaan dan kedaulatanya.
Maka dari itu,
gagasan tentang kemandirian ekonomi yang akan dijalankan supaya bangsa ini
dapat keluar dari penjajahan jenis baru di era globalisasi. Dengan kata lain jika
Indonesia bisa lepas dari cengkraman kapitalisme internasional hal itu
tergantung pada cara mewujudkan kemandirian ekonomi Bangsa tanpa banyak
tergantung pada negara lain, terutama Amerika dan sekutunya ataupun beberapa
korporasi besar yang selama ini mengusai Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana cara mewujudkan
kemandirian ekonomi nasional. Tentu saja jawabannya adalah apa yang ada di
sekitar kita, yaitu pemanfaatan SDA. SDA yang dimiliki Indonesia merupakan
potensi besar untuk memajukan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Sayangnya
potensi besar ini tidak terkelola denga maksimal oleh bangsa kita sendiri. Yang
mengelola SDA ini kebanyakan dari bangsa luar , yang menyensarakan rakyat
Indonesia akibat pengelolaan dan penguasaannya bukan di tangan pemrintah
Indonesia namun oleh berbagai perusahaan asing dengan dalih investasi modal
asing, yang menguasai dan menjarah SDA sah milik Indonesia. Dari sinilah awal
mula “penjajahan” itu terjadi di era modern ini. Sudah selaykanya dan
sewajarnya bahwa seharusnya kekayaan itu dikelola dan dikuasai sendiri oleh
pemerintah demi mewujudkan kemandirian ekonomi dan digunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat. Tidak ada pilihan lain, pemerintah harus mengelola
ekonomi nasional yang lebih menitikberatkan pada pemerataan dan kesejahteraan
guna menghasilkan keadilan kepada kepentingan rakyat Indonesia sendiri. Kita harus kembali pada ajaran kemandirian
(Trisakti Bung Karno), untuk mencapai peri kehidupan bermasyarakat dan
bernegara yang bebas (liberty), adil (equality, justice), dan sejahtera
(prosperity).